Selasa, 27 September 2011

“Rumah-Rumah Darah”


Bencana tempo lalu, telah meninggalkan bekas-bekas luka yang tak menghilang begitu saja. Ratusan memori tersimpan di dalam pikiran, masih terputar jelas dan terkadang melintas dalam otak ketika berbaring di peristirahatan. Terkadang, aku berpikir. Kenapa aku terlalu lugu untuk mendapati hakku tempo lalu. Kini semua telah terlambat. 

Masa rehabilitasi dan rekonstruksi, telah lama usai sejak lembaga itu mengetuk palu. Aku terdiam di dalam angan-angan. Angan-angan yang kini menjadi tabu untuk ku ucapkan.
Mungkin kisah ini hanyalah sebuah jeritan penderitaan bagi orang-orang yang terlalu jujur dan lugu. Bagi para korban yang tidak bisa memiliki haknya dan kini terombang ambing, tanpa ada bangunan yang bisa dijadikan tempat berteduh kala matahari terlalu terik dan hujan mengguyur persada. Kala angin bertiup kencang merasuki tulang belulang yang begitu memilukan.
Aku berduka bagi para anak-anak yang kehilangan orang tuanya yang kini terusir dari “rumah-rumah darah” ibu dan saudara kami itu. Dan aku kecewa, pada mereka yang terlalu serakah menumpuk hibah hanya untuk dirinya saja.
Mereka-mereka yang serakah itu, kini menikmati “rumah-rumah darah” ibu dan saudara kami. Mereka yang tak tersentuh bencana, sekarang begitu tenang melewati hari. Tanpa harus berpikir; esok hari, bulan depan atau tahun mendatang, rumah mana lagi yang akan ditempati.
Mereka yang serakah, tak cukup satu merampas “rumah-rumah darah” ibu dan saudara kami kemudian diperjual belikan begitu saja sesuka hati. Ada pula yang menggadaikan, ada pula yang mengijinkan orang untuk menempati dengan meminta balasan sejumlah uang sebagai biaya administrasi.
Mereka yang serakah, tak peduli dengan nasib para anak yang kehilangan orang tua itu, kini apuh apah menjalani hari. Dimana nanti malam akan berteduh dan mengsitirahatkan tubuh yang mulai lelah ini. Waktu telah berlalu. Masa-masa hibah rumah-rumah darah ibu dan saudara kami pun telah menjadi tabu untuk diperdebatkan. Kisah-kisah pengharapan belas kasihan itu, tak lagi di dengar karena musim itu sudah lama berganti dengan musim-musim yang lain.
Namun, bagi kami. Bagi anak-anak yang kehilangan ibu dan saudara itu, kisah ini akan selalu menghantui sampai di penghujung waktu dan berkahirnya nafas dalam tubuh ini. Kami, anak-anak yang darah ibu dan saudaranya tercabik-cabik dalam bencana itu, tak punya tanah untuk mendirikan rumah, tak punya harta untuk membeli rumah, tak punya saudara yang bisa mengurus hibah “rumah-rumah darah”, akan selalu mengenang kisah ini. Kisah yang akan kami bawa sampai mati untuk kami ceritakan pada anak cucu nanti.
Semoga, dikemudian hari ketika anak dan cucu kami telah mampu membalas kebaikan pada para penghibah “rumah-rumah darah” itu, ketika anak dan cucu kami telah mampu memberikan “rumah-rumah darah” pada orang lain, mampu melihat kejujuran, keadilan dan penyembuhan total pada mereka-mereka yang kehilangan ayah, ibu dan para saudaranya itu.
Jeritan ini bukanlah gugatan. Karena gugatan itu tak berarti lagi semenjak kami diam. Jeritan ini bukanlah peng-hiba-an, untuk meminta belas kasih sayang, namun hanya sebagai pengalaman ketika kita berada dalam tragedi yang sama. Mudah-mudahan, Tuhan tak lagi memberikan bencana itu. Dan jangan berharap, adanya bencana akan ada “rumah-rumah darah” yang diberikan. Karena itu, tak sebanding dengan hilangnya romantika dan orang-orang yang tercinta.
Harta tak mampu menggantikan mereka yang telah tiada, meski terkadang hal itu diperlukan pada satu waktu untuk menopang hidup keluarga-keluarga baru.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar