Rabu, 05 Oktober 2011

Mozaik

Bab I
Surat Kepiluan
Banda Aceh, 26 Juni 2007
Dear Diary…

Sejauh mana kau mengagung-agungkan kata cinta. Sejauh mana kau mengerti makna dari sebuah kata cinta. Seharusnya, jika itu dapat kau pahami maka tanyakanlah pada dirimu sendiri, sudahkah dirimu tahu sedalam mana kau mencintai kekasihmu yang diagung-agungkan melebihi Tuhan itu?


Riak sungai mengalun sedih di muara perbatasan. Heningnya perdu-perdu yang dihembus angin, tak kuasa menahan sedih bagi siapa yang mendengarnya. Tak ada lagi nyanyian burung kenari di taman hutan cintaku. Tak ada lagi ringkikan kuda-kuda liar stallion yang terkenal akan kehebatannya berlari di padang rumput kenanganku.

Kesunyian alam tersebut setidaknya menggambarkan suasana hatiku kala terpaut rindu pada orang yang dipaksa mengkhianati kata-kata cinta. Meninggalkan muara-muara kasih hingga terkapar di teluk pengkhianatan. Siapa yang tak terluka hatinya. Jika sesuatu yang disayang harus hilang dari genggaman. Dewa Zeus yang disembah masyarakat Yunani pun bisa murka ketika ibunda Hercules hilang merenggang nyawa tatkala Dewi Hera membunuhnya.

Aku memang bukan siapa-siapa dan belum menjadi apa-apa saat ini. Namun, cinta yang indah datang menghampiri dan merayu kesetiaanku. Kesetiaan yang ku jaga setelah dua tahun lamanya hatiku pupus diamuk badai pasang, geulumbang hung balang tsunami itu.

Hampir tak ada yang dapat memungkiri rasa hati yang indah itu. Tidak kau dan juga aku. Tidak dia dan juga mereka. Layaknya Gibran dan cerita Selma kasihnya itu. Atau Adam dan Hawanya yang rela diusir dari surga karena terlalu jauh mengenal kata cinta, sehingga memakan buah khuldi tempo dulu.

Kala penyakit cinta itu datang dalam sekejap semua bisa terlupakan. Kealpaan itu melebihi orang-orang yang dilanda amnesia. Begitu juga dengan diriku dan mungkin dirimu, teman. Cinta telah merasuk hidupku yang semula sepi dan mati. Ia menjelajahi akar-akar syaraf ku hingga ke ubun-ubun kepala dan kaki.

Penyakit ini telah membuat diriku terpekur dan bersujud di hadapan Tuhan. Meskipun saat itu yang kulakukan menjadi semata-mata karena mengharapkan cinta dari sang bidadari dunia. Lalu, sampai dimana kau mendustakan hati mu untuk sekedar bisa mengungkapkan perasaan cinta itu? Perasaan yang kian kuat terpatri dalam sebuah kehidupan. Bagaikan ombak di pantai yang mengikis karang-karang kokoh di hujung samudera.

Aku tak berani menafikan kata-kata cinta itu. Ia datang dengan sendirinya. Menelantarkan prinsip-prinsip kedukaan dan kesendirian. Rasa yang kokoh pada kesetiaan. Terkapar di bawah bayang-bayang gelap hati. Cinta merasuki sampai sendi-sendi terapuh pada tulang belulangku.

Cinta pula yang telah menceriakan hari-hari ku. Kala itu. Kala aku melupakan sibuknya dunia dalam kenisbian waktu. Ini yang dapat ku ungkapkan kawan. Entah dengan mu atau dengannya. Aku tak berani menyimpulkan.

Tiga puluh hari, awal bulan pertama itu. Aku merasakan telah bereinkarnasi menjadi orang yang paling berbahagia. Mendapatkan kasih yang memang sering ku puja dan ku manja. Meski pun itu hanya dalam mimpi belaka. Tak ada kata-kata yang dapat terukir dengan apa yang kurasakan saat ini. Tak ubah secangkir anggur dari surga telah dituangkan ke dalam mulut yang menganga, aku menjadi mabuk kepayang. Membayangkan keindahan dunia yang fana.

Sejauh mana tantangan dan rintangan yang ada kami lalui bersama. Jerit, tawa, tangis dan senyum bahagia mengukir hari di kala berdua. Layaknya bahtera mengarungi samudera yang luas bersama sekoci penyelamat di sampingnya atau laksana sepasang elang yang terbang menyentuh mega nun jauh di sana. Sesekali memekik memanggil yang kuasa. Dan berteriak pada Tuhan, berterima kasih karena telah mewarnai hatiku dengan hadirnya kembang surga itu.

Lalu, apa yang mendustakan cintaku pada dirinya? Enam bulan lamanya telah menjalin kasih. Bahagia antara suka dan duka serta menuai semua benih dari rasa hati, seketika awan hitam berarak mengelilingi hati kami. Jauh di dalam, ada irisan tipis yang disiram dengan cuka mengalirkan bulir-bulir air dari dua kelopak mata. Tak ada lagi suara. Hanya isak tertahan dalam tenggorokan yang menyempit dan terasa menyiksa.

Noda-noda perselingkuhan ditabalkan pada kisah kami dua insan manusia. Tuntutan demi tuntutan silih berganti menerpa otak-otak kami yang ingin menyatukan persepsi dalam sebuah ikatan suci. Ada buih-buih bisa yang sengaja disiramkan ke dalam luka hati itu. Politisasi ekonomi dan budaya dari asal muasal hidup pun turut di jabarkan agar ada yang menjadi ”desertir”nya cinta pada waktu itu.

Kasih ku dihadapkan pada sebuah dramatisasi kehidupan. Ikatan tali persaudaraan dan benih-benih air susu ibu yang mengalir di nadinya, menghalau cinta kami ke dalam lembah dunia ini. Ia harus memilih. Antara Aku, Dia, Kau dan sang Ibunda.

Ia, gadisku itu terlahir dari dua manusia yang beriman. Manusia yang bermartabat dan penuh kasih sayang. Mereka tercatat sebagai hamba yang taat dan bijak serta mempunyai kedudukan tinggi dan mapan di dunia ini. Suami ibunya, seorang laki-laki dari keturunan darah biru. Darah para bangsawan. Darah yang dipercaya berasal dari keturunan raja-raja sang penguasa.

Ibunya...wanita bersahaja yang mempunyai ketegaran hidup. Kesehariannya bekerja sebagai assisten wedana di salah satu gampong yang pernah dihantam tsunami tempo hari. Awal nya, sang ibu itu mempunyai tiga anak gadis selain bidadariku itu. Namun bencana telah merenggut dua dari tiga gadis, buah cinta antara ibu dan suaminya itu. Bahkan tak ayal, sanggahan hati dan penopang hidup keluarga mereka dari keturunan darah biru itu pun, ikut hilang dalam amukan ganasnya laut pasang Desember lalu.

Sedangkan aku...Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang laki-laki yang terlahir dari rahim seorang ibu. Ibu yang tidak mempunyai nama seharum nama Tjoet Nja’ Dhien atau setenar Laksmana Malahayati. Ibuku bukan lah pekerja kelas kantoran. Ia hanya seorang Ibu yang kesehariannya membesarkan anak-anak titipan suaminya dengan bermandi peluh. Membersihkan baju-baju kotor di rumah orang. Merapikan meja-meja di rumah makan. Apa pun Ia lakukan. Asal itu halal dalam pemahamannya selaku seorang muslim. Ia tak malu membanting tulang demi menghidupi buah hati nya. Ia tak pula mencari pengganti laki-laki yang telah meninggalkannya karena penyakit lever sejak 15 tahun lalu itu.

Laki-laki yang selalu dianggap berada di dekatnya. Mendekap erat dalam kesedihan kala pahitnya hidup harus ditanggung seorang diri. Laki-laki yang dulu berani meminangnya walau hanya berprofesi sebagai seorang mugee ikan, di los pasar sudut kota tua Kuta Radja. Laki-laki yang tak mampu bertahan sampai umur mencapai kepala empat. Laki-laki yang kami sebut sebagai ayah itu.

Aku dibesarkan dengan kasih sayang ibu. Semua yang ku dapatkan hari ini karena kasih ibu pada ku. Kecerdasan dan kesetiaan yang ada dalam diriku, semuanya berasal dari darah dan keikhlasan ibu membesarkan ku. Sampai akhirnya, 26 Desember 2004 aku harus kehilangan cahaya hidup itu. Raganya tak pernah ku temukan. Hilang dalam sapuan kuatnya air berlumpur pasca gempa 8.9 skala richter itu.

Sampai saat ini, aku hanya mengira-ngira dimana jasadnya di kuburkan. Siapa yang menguburkan dan apa yang dialaminya pada musibah tempo hari sehingga aku harus kehilangan wanita paling berjasa dalam hidupku. Ibuku, bunda yang paling terhormat di seluruh dunia. Walau ia bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa seperti ibunya orang lain, tapi aku bangga. Ia adalah bunda yang paling setia.

Perbedaan garis hidup dan nasib tersebutlah yang membuat gadisku terpaksa menuruti kata-kata ibunya. Ia dipisahkan dari lingkungan ku. Katanya, demi masa depan sang gadis yang cemerlang karena jika ia bertahan  dengan ku, maka derita lah yang akan di dapatinya.

Sang gadis, dijodohkan dengan seorang pria yang jarak usianya jauh dari kami. Laki-laki itu mempunyai kelebihan-kelebihan yang membuat ibunya jatuh hati bermenantukan dirinya. Laki-laki yang mempunyai bisnis dan profesi yang mumpuni dibandingkan diriku yang belum menjadi apa-apa ini. Laki-laki yang asal darahnya dari keturunan ’alim ulama. Cerdas, ulet dan bijak serta taat dalam menjalankan ritual keagamaan terbungkus rapi dalam tutur kata yang sopan, pakaian yang rapi dan pandainya menjaga diri.
Siapa yang dapat mensucikan cinta maka akan terselamatkan dari kesakitan dan kepedihan menjalani kesendirian. Sang pecinta harus rela melepaskan semua kebahagiaan hidupnya dengan mengikhlaskan kekasih hati, demi wanita yang ia cintai. Sampai Tuhan pada kemudian hari mengirimkan cinta lain pada dirinya. Sampai waktu menghapus kenangan indah dan pahit itu.

Kini, gadis ku terbalut dalam cadar suci. Layaknya sebuah janji yang pernah diikrarkan dulu. Malu menatap dunia jika tak bisa berbagi suka dan duka bersamaku. Aku memang tak dapat merasakan apa yang ia rasakan. Namun, aku bersyukur pada Tuhan. Setidaknya cintaku telah mendapatkan sang Imam yang akan membawanya ke Surga-Nya di langit ’arsyi nanti.

Di bawah aliran air gunung yang bening, ku tasbihkan puja dan puji pada Tuhannya rasul-rasul ambiya. Di bawah rindangnya beringin tua aku menitikkan air mata sembari bersujud meminta agar kedua kasih ku menemukan kebahagiaannya. Dan diantara padang ilalang, aku terus berharap dikemudian hari mampu membuka kisah hidup yang baru. Menemukan cinta sejati untuk dapat ku bawa sampai mati.

Demi nama Tuhan dan keridhaan kasih seorang Ibu, aku berpasrah diri pada semua peruntungan dan roda hidup yang akan ku hadapi. Cinta, air mata, tawa dan senyum keindahan mungkin saja tak pernah lagi datang dalam kehidupanku. Tapi, aku tahu. Tuhan itu Maha adil dalam menuntun semua hamba-hamba-Nya.

Lalu masihkah engkau mendustakan kekuatan cinta dan kesetiaan seorang Ibu pada anaknya? Dapatkah dirimu menentang segala bentuk cinta dan kasih sayang yang diridhai Tuhan-Mu? Aku tak berani kawan. Hati ku gentar melawan kuasa Zat tertinggi itu. Meskipun aku sang pecinta, aku hanyalah sebongkah daging yang dialiri darah dan terlahir dari rahim seorang ibu yang setia.

Jika esok kau tanyakan pada ku kisah cinta ini, dengarkanlah apa yang ku dendangkan. Jangan kau tanya lagi kenapa atau bagaimana. Ini lah kisah hidupku. Karma yang harus kudapatkan setelah tulus mencintai. Apakah untuk seterusnya aku tak lagi meng-agung-agungkan kata cinta? Apakah nanti aku tak lagi tulus mencintai bunga terindah dunia ini? Tak juga kawan. Kisah itu hanya akan menjadi dosaku pada sebuah raga dan jiwa.

Setelah ratusan hari berduka, aku kembali digelayuti kisah-kisah asmara, kawan. Seperti yang pernah ku dendangkan dalam kisah-kisah sebelumnya, hamba mana yang akan berani menafikan rasa hati, kecuali para sufi-sufi yang mengasingkan diri nun jauh dari kehidupan duniawi. Hamba mana yang mampu menolak kuasa jiwa dalam menginginkan kasih sayang dari seorang hamba lainnya, yang begitu elok dan suci. Khalis tuan. Aku pun kembali membuka lembaran baru, mencintai gadis yang begitu elok paras dan sifatnya...

Catatan kecil pria nestapa. Galau hati karena pengingkaran kata dari wanita tercinta...
Fakhrul Akbar...bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar