Minggu, 23 Oktober 2011

Mozaik


Bab II
Kisah di Hari Natal

Aku memang keras kepala. Begitu julukan seorang kekasih pada ku, sejak ku putuskan untuk bergelut dalam kancah perpolitikan kampus, tiga minggu lalu. ”Kenapa harus abang. Kan bisa saja orang lain. Tak usah lah dirimu menyibukkan diri dengan dunia politik yang tak punya muara itu,” sergap gadisku, Fera saat ku ungkapkan ingin menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan ketua umum tempat organisasi kami bernaung.


”Memang banyak yang mencalonkan diri, tapi aku merasa tertarik mempelajari dan mengaplikasikan ilmu ku untuk menjadi pemimpin. Setidaknya dalam organisasi ini. Seharusnya kamu bangga dan ikut mendukung kemauanku. Bukan seperti ini,” sahutku, sekenanya tanpa mempertanyakan alasan Fera melarang ku menjadi seorang Ketua.

”Kau memang keras kepala Bang. Sudah keluar huruf A dari mulutmu, susah sekali berganti menjadi huruf yang lain. Bagaimana dengan aku nantinya? Siapa pula yang mau memperdulikan aku jika kau sibuk mengurus organisasi ini?”

”Hahaha...sayang...ketahuan juga rupanya. Tenang..aku tak kan menduakanmu. Apalagi selingkuh dengan organisasiku. Kamu adalah prioritas dalam dunia pribadiku,” ucapku, enggan mengalah dan tetap memilih untuk maju.

”Baiklah, aku akan mendukungmu. Tapi ingat, jika nanti kau lupakan aku, aku tak segan-segan dan butuh kata penyesalan untuk meninggalkanmu,” ancam Fera.

”Iya..iya aku mengerti,” aku menyanggupinya.

Hari terus berlalu sampai tiba momentum pemilihan ketua umum di organisasi tempat ku menimba ilmu itu. Sabtu, 25 Desember 2004. Hari yang bertepatan dengan hari besar ummat nasrani merayakan Natalnya. Namun, karena seratus persen anggota organisasi bukan ummat tersebut, maka kami memutuskan hari itu sebagai hari pemilihan dan musyawarah besar anggota.

Pemaparan demi pemaparan laporan pertanggung jawaban (LPJ) berjalan alot. Sebagai bagian dari kepengurusan periode awal, aku ikut menjadi orang yang dipersidangkan oleh 150 lebih anggota organisasi. Terlebih di saat pemaparan butir-butir keuangan mengenai kegiatan yang kami laksanakan di Sabang, Pulau Weh.

Tak ada cela dalam laporan tersebut. Bahkan forum pun sepakat mengajukan applaus karena kami selaku panitia berhasil melakukan kegiatan itu tanpa ada kasus hutang-piutang dan biaya fiktif seperti pada periode sebelumnya. Alhasil aku dipercaya akan mampu meraup suara tertinggi dalam pemilihan ketua umum nanti di dampingi Danuarta dan menyusul kemudian Ari. Ketiganya merupakan kandidat Ketua umum dari letting 2002. Sementara satu kandidat lagi bernama Musliadi, merupakan perwakilan dari letting 2001 yang ingin kembali memimpin organisasi tersebut.

Benar seperti dugaan yang dikalkulasikan oleh para tokoh-tokoh politik di organisasi, aku berhasil meraup jumlah suara sebanyak 65 persen dari total 156 forum organisasi. Menyusul kemudian Danu 20 persen dan Ari 10 persen. Sementara Musliadi hanya mampu mengumpulkan suara sebanyak 5 persen yang kebanyakan suara itu berasal dari tim suksesnya.

Meskipun begitu, aku tidak serta merta berbangga hati. Apalagi sebagai muslim aku percaya, jabatan selaku ketua itu sangat lah berat. Lebih lagi, Fera yang memang dari awal Mubes dilakukan terlihat murung, keluar setelah aku diumumkan sebagai pemenang dalam pemilihan tersebut.

Melihat Fera keluar dengan segera aku menyusulnya. Gadis itu terus beranjak dari gedung akademik tempat kami menggelar mubes tersebut. Aku berhasil menyusul dan menarik lengannya.

”Tunggu...adek mau kemana?”

”Mau ke Indrapuri. Tadi kirain ada Reni yang juga ikut Mubes. Rupanya tak ada. Adek mau nginap di rumahnya,” jawabnya.

”Lho kok? Kenapa gak tidur di rumah aja? Bukannya nanti malam, malam minggu. Abang akan antar adek pulang setelah acara ini selesai. Tunggu sebentar lagi ya?”

”Gak usah. Adek bisa pulang sendiri. Ya udah adek gak ke Indrapuri, langsung pulang ke rumah aja,”

”Betolan ya ?”

”Iya...” jawabnya singkat sambil berlalu tanpa melihat ke arah ku lagi.

Aku sadar. Dia kecewa dengan kemenangan ku. Tapi aku tidak mengerti kenapa sampai sikap nya seperti itu? Apakah karena Reni yang pernah berpacaran dengan mantan ketua umum kami merasakan efek negatif sebagai pacar seorang ketua, sehingga ia cenderung bersedih diri seperti itu?

Ku lepas kepergian Fera dengan menatapnya lekat dan erat. Perlahan tapi pasti, sosok tubunya yang semampai hilang bersama tenggelamnya mentari ke arah barat. Sayup-sayup ku dengar suara puluhan kata-kata selamat atas kemenangan ku terdengar dari mikrophon di lantai dua, gedung tempat kami melangsungkan pesta demokrasi itu.

Aku kembali kesana. Perasaan ku berkecamuk antara senang, bangga, terharu dan juga sedih. Senang karena apa yang kuperjuangkan berhasil kuraih. Bangga karena anak bunda yang bukan siapa-siapa ini mulai menaiki tangga dalam mencari jalan hidup. Terharu karena ramai orang yang menyenangi ku dan mempercayai ku sebagai pemimpin. Namun aku sedih, jika ini adalah langkah yang salah apa yang harus ku perbuat ke depan? Sedih karena sang kasih meninggalkanku seakan-akan itu adalah hari terakhir aku melihatnya.

Senja Merah Saga

Langit memerah petang itu. Usai merayakan kemenangan, bersama kami menuju meunasah Lampoh U, Darussalam, guna menunaikan kewajiban shalat maghrib yang waktunya hampir saja usai itu. Gerimis pun tak peduli dengan keceriaan malam minggu yang dinanti. Tak seperti malam biasanya, Kota Banda Aceh mencekam. Entah kenapa dan oleh sebab apa, mayoritas penduduk Kuta Radja lebih memilih berdiam diri di rumah daripada harus keluar mencari angin segar. Toh pada malam itu angin juga menusuk dalam tiap sendi tulang belulang manusia.

Di sebuah rumah berkonstruksi kayu dan semi panggung gaya rumah Aceh. Aku berjalan gontai dengan mengerutkan dahi setelah begitu lelah berpacu melawan angin dan gerimis yang turun dari langit, agar bisa bertemu gadis ku, Fera. Bermodal kan Astrea Tujuh Puluh yang kubeli dengan hasil jerih payah sebagai tukang jaga malam di salah satu bank swasta, patungan bersama Bunda. Aku nekat mengunjungi gadis yang meninggalkan ku itu, sore tadi.

Ada perasaan cemas yang ku hadapi saat itu. Antara perasaan malu, sedih dan juga rindu seperti layaknya akan kehilangan seseorang untuk selamanya, aku memberanikan diri mengetuk pintu sebuah rumah yang berada tepat di belakang rumah panggung itu.

”Assalammu’alaikum...”

Hening. Tak ada jawaban. Ragu namun kuberanikan diri untuk sekali lagi mengetuk pintu rumah itu. Setidaknya tiga kali kulakukan hal serupa sampai akhirnya seorang wanita keluar dari rumah tersebut.

”Eh..Arul, ada apa hujan-hujan gini? Mau ketemu Fera ya?” tanya kak Ros, sepupu Fera.

”Iya kak,” jawab ku.

Wanita tersebut mempersilahkan aku masuk ke dalam. Namun, aku memaksakan diri untuk menunggui Fera di luar meskipun hujan dan angin begitu menyiksa tubuh ku yang belum merasakan tilam sejak malam kemarin. Aku menanyakan apakah Fera ada dan ku sampaikan maksud kedatangan ku. Kak  Ros memanggil seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun dari dalam rumah. Ia meminta bocah yang tak lain adik nya Fera itu untuk memanggil kakaknya bahwa aku telah datang mengunjungi ia yang sedang sakit.

Jarum jam terus berputar. Bocah yang diutus kembali tanpa ada yang menemani. Artinya, gadis yang ingin ditemui tidak bisa bangkit dari pembaringannya. Dengan kata lain, sakitnya memang parah.

”Maaf bang, kakak gak bisa bangun. Saket ulee jih,” kata bocah itu menambah dinginnya malam itu menyiksa tubuh ku.bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar