Minggu, 23 Oktober 2011

Mozaik


Bab II
Kisah di Hari Natal

Aku memang keras kepala. Begitu julukan seorang kekasih pada ku, sejak ku putuskan untuk bergelut dalam kancah perpolitikan kampus, tiga minggu lalu. ”Kenapa harus abang. Kan bisa saja orang lain. Tak usah lah dirimu menyibukkan diri dengan dunia politik yang tak punya muara itu,” sergap gadisku, Fera saat ku ungkapkan ingin menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan ketua umum tempat organisasi kami bernaung.

Rabu, 05 Oktober 2011

Mozaik

Bab I
Surat Kepiluan
Banda Aceh, 26 Juni 2007
Dear Diary…

Sejauh mana kau mengagung-agungkan kata cinta. Sejauh mana kau mengerti makna dari sebuah kata cinta. Seharusnya, jika itu dapat kau pahami maka tanyakanlah pada dirimu sendiri, sudahkah dirimu tahu sedalam mana kau mencintai kekasihmu yang diagung-agungkan melebihi Tuhan itu?

Selasa, 27 September 2011

“Rumah-Rumah Darah”


Bencana tempo lalu, telah meninggalkan bekas-bekas luka yang tak menghilang begitu saja. Ratusan memori tersimpan di dalam pikiran, masih terputar jelas dan terkadang melintas dalam otak ketika berbaring di peristirahatan. Terkadang, aku berpikir. Kenapa aku terlalu lugu untuk mendapati hakku tempo lalu. Kini semua telah terlambat. 

Rabu, 14 September 2011

Di Hari Kedua...

Senja hari itu meremang di sudut bukit sebelah barat, di antara laut biru dan langit yang memerah. Beberapa perahu nelayan terlihat lalu lalang di perairan lepas, ada yang pergi mencari sekeranjang ikan dan ada yang pulang dengan membawa secercah senyuman yang terwujud dalam boat-boat kecil milik mereka.

Awalnya langit cerah, namun tak lama kemudian pun memendung dan berubah sendu dengan kumpalan mega yang kelabu. Pesisir kota Banda Aceh waktu itu menjadi gelap tapi tidak pekat. Gerimis pun mulai turun dari celah-celah langit, sekedar membasahi bumi yang kian usang dimakan usia.

Selasa, 13 September 2011

Jamur Berdarah

Langit masih meremang, saat Naura bersama Dahri dan Siti berjibaku menantang dinginnya suhu hari itu guna mencari sekantung penuh jamur yang tumbuh di pematang sawah, usai panen padi di gampong mereka. Ketiga gadis cilik ini, tak sadar bahaya sedang mengintai mereka di subuh berdarah itu.

Juli, 1997. Masyarakat gampong Paya Seutui, Pidie Jaya, Aceh, masih terlelap dalam singgasana pembaringan di rumah mereka. Dari sebuah rumah berkonstruksi panggung dengan corak semi rumah Aceh, terlihat mulai ramai. Satu dua kamar, perlahan menghidupkan penerangan dan suara-suara canda kecil menghiasi pagi itu.

Perahu

Dan perahu itu sudah mampu mengarungi samudera. Tinggal kau tarik layar, isi ia dengan bahan bakar, arahkan kemudi dengan benar. Jangan lupa kau periksa jala, pancing dan pukatnya. Siapa tahu, ada lubang disana-sini atau mata pancingnya tak terikat dengan benar. Aku sudah membantumu membuat perahu itu setelah engkau memberikan setumpuk uang, lusa lalu. Aku juga sudah memasang kompas, merajut jala dan pukat serta membeli mata kail yang lumayan bagus untuk pemula seperti kita.

Aku Kan Kembali, Sayang!

Ini masa suram untuk bercinta di altar Tuhan. Sabarlah sayang, aku akan mengunjungi mu nanti setelah tiba masanya. Hari ini dan kemarin, aku masih mengumpulkan bulir-bulir keringat yang kucucurkan dan bayang-bayang pikiran yang aku curahkan.