Selasa, 13 September 2011

Antara Aku, Kau dan Ibumu

Bagian : I
PERTEMUAN Pertamaku

Kupandangi lekat-lekat sosok wanita yang berdiri di depan meja loket pendaftaran mahasiswa baru. Ada kesejukan yang kurasakan dalam relung hati ketika memandang wajahnya yang sederhana itu. Entah perasaan apa yang mengganggu ku sejak itu. Aku mulai terkesan dengan mahasiswi baru tersebut. Namun aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan perasaanku saat itu.
Kucari tahu siapa namanya dari blanko pendaftaran peserta Mahasiswa Baru di Jurusan kami, Laily Junianty, begitulah nama itu tercantum di kertas tersebut.

“Lamjabat, wah tetangga desa ni…” batinku sembari terus membaca biodatanya yang lain, termasuk mempunyai alergi makan daging. “Menarik…” lirihku
Proses penerimaan mahasiswa baru pun terus berlangsung. Hatiku simpatik melihat anak-anak baru itu. Lucu juga menggemaskan serta menggelikan. Jadi teringat ketika kami baru-baru masuk ke Universitas ini empat tahun lalu. Tanpa kusadari, aku berkata pada sahabat ku Jimmy, “Jim, nampaknya akan ada pengganti almarhumah ni.”
“Siapa cewek beruntung itu?” tanya Jimmy penasaran
“Gak jauh-jauh amat sama lokasi tempat ku tinggal” jawabku membuat Jimmy penasaran.
“Siapa sih Zi?”tanyanya lagi
“Tuh, cewek jilbab besar tu,” tunjuk ku pada orang yang kami bicarakan.
“Wahh..kamu yakin Zi, diakan jilbaber. Nampaknya perjuangan mu akan terasa berat nih,” Jimmy mencoba mematahkan semangatku.
“Kita lihat saja nanti” ujarku mengalahkan statemen Jimmy
Haripun berlalu, sampai saatnya kami berangkat ke Sabang guna mengikuti perhelatan tahunan penerimaan mahasiswa baru. Aku mulai memerhatikan sosok gadis itu erat-erat. Dalam hati berniat untuk dapat mendekatinya, tapi bagaimana caranya aku juga belum tahu. “Biarlah waktu yang mengatur nya,” batinku.
Acara yang berlangsung selama tiga hari itu, mendatangkan banyak masalah bagi pihak panitia. Mulai dari kekurangan dana kegiatan sampai banyaknya peserta yang tumbang bahkan ada yang kesurupan. Hal ini menjadi sebuah kebiasaan dalam kegiatan-kegiatan seperti ini. Maklum saja, bila dikaji dari segi psychososial atau ilmu kejiwaan, manusia yang tertekan sering merasa hampa dan melakukan perbuatan-perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran di bawah alam sadar. Tapi bila dikaji dari ilmu kebhatinan, banyak yang bilang ada jin yang masuk. Entahlah, yang pasti banyak peserta kegiatan ini yang tumbang karena kesurupan, baik yang cowok maupun yang cewek.
Ternyata, Laily mengalami nasib serupa pada hari kedua kami di Sabang. Namun ia tak sempat kesurupan, hanya penyakitnya kambuh.
“Saya korban tsunami bang. Gara-gara musibah itu tulang pinggul saya retak dan sampai sekarang kalau cuaca nya dingin seperti ini, saya merasa ngilu,” jelasnya padaku ketika kuantar ia ke pos kesehatan.
Sayang nya ketika kegiatan tersebut berlangsung, Laily lebih banyak beristirahat termasuk ketika acara pelelangan ala organisasi kami digelar. Hal ini membuatku tidak semangat mengikuti acara tersebut.
Singkat cerita, setelah tiga hari penuh pelaksanaan acara tersebut kami pun berkemas-kemas pulang kembali ke kota Banda Aceh. Semua peseta tampak kelelahan termasuk panitia. Namun raut wajah peserta nampaknya agak lebih berseri dibandingkan hari-hari sebelumnya. Tentu saja ini terjadi karena bagi mereka lepas dari semua siksaan adalah doa setiap hari ketika kegiatan perpeloncoan ini terjadi.
Sesampainya di kampus setelah sekian hari acara tersebut digelar, aku menjadi sedikit shock mendengar Laily dekat dengan seorang mahasiswa dari jurusan kami. Harapanku menjadi pupus ketika mendengar kabar angin itu. Karena maksud hati tak tersampaikan, aku pun mencoba mencari kesibukan. Apalagi saat itu aku mulai bekerja disalah satu LSM lokal yang ada di dekat kampus. Perhatianku pada sang gadis mulai berkurang.
Tepatnya tiga bulan lebih aku mencoba tak berharap untuk dapat dekat dengan Laily. Sampai akhirnya kantorku mencari seorang nara sumber untuk dijadikan bintang tamu dalam salah satu program kami.
“Kriteria tamu yang akan kita undang seperti apa?” tanyaku pada Pimpinan divisi kami
“Mempunyai kisah menarik, baik sebagai korban konflik maupun korban tsunami,” jelas sang pimpinan pada kami.
“Oke, sama saya ada salah seorang mahasiswi yang mungkin bisa kita jadikan tamu kita edisi ini,” harapku cemas
“Siapa?” tanya pimpinanku lagi.
“Pokoknya tanggung beres lah, ia mantan atlet tapi harus berhenti setelah tsunami karena cidera saat musibah itu terjadi. Adik letting kami di kuliahan,” jelasku meyakinkan pimpinan.
“Baiklah, coba kamu hubungi dia. Apakah bersedia menjadi tamu kita atau tidak” perintah sang atasan padaku yang kusambut dengan perasaan haru biru. Kenapa tidak, pasalnya sudah lama aku ingin mengenalnya lebih dekat tapi tak pernah ada kesempatan.
“Baiklah…Laily bisa. Kapan kita on air,” tanya Laily ketika kuhubungi lewat pesawat telepon.
“Sabtu ini. Nanti kami akan jemput adik untuk datang ke studio,” jelasku
“Sipplah,” jawabnya
……………………………………………………………………………

Kisahnya mengharukan…
            Setelah sampai tiba pada hari yang ditunggu, aku menjemput Laily ke kampus. Tapi sayangnya jemputan yang kujanjikan dengan mobil tidak bisa kupenuhi, karena mobil kantor saat itu terpakai untuk keberangkatan teman-teman ke wilayah kerja mereka di Krueng Raya.
Tapi aku tetap melaju ke kampus dengan penuh keyakinan. Kujelaskan pada Laily apa yang terjadi dan diapun mengerti dengan kondisi tersebut. Karena tidak bisa kujemput dengan mobil, terpaksa sepeda motor butut menjadi tawaran alternatif. Tapi nyatanya dia mempunyai kendaraan pribadi untuk menuju ke studio. Bagiku bukan sebuah masalah, terpenting apa yang kuinginkan bisa kuwujudkan. Mengenalnya lebih dekat.
Setibanya di studio, aku mempersilahkan ia masuk dan menawarkan posisi duduk dekat dengan penyiar yang sedang bertugas membawa acara tersebut. Awalnya sikap Laily biasa-biasa saja, hanya sedikit nervous itu lumrah. Berhadapan dengan corong mik dan pembicaraan tersebut langsung didengarkan oleh seluruh warga kota Banda Aceh dan sebagian masyarakat Aceh Besar, siapa yang tidak grogi.
Ketika on air berlangsung banyak hal menarik dari kisah gadis ini. Mulai dari kisah perjuangannya ketika tsunami terjadi sampai akhirnya harus berpisah dengan adik-adiknya serta ayahnya yang diketahui telah meninggal. Bahkan menurut cerita gadis berkulit putih ini, ia sempat berpisah dengan ibunya selama dua hari. Laily tak berhenti menangis ketika bercerita. Aku menjadi tersentuh dengan pengalamannya karena kejadian yang kami rasakan hampir sama. Kami sama-sama korban tsunami yang juga kehilangan orang-orang yang kami cintai.
Bersama dengan penyiar, aku mencoba menenangkan Laily ketika off air. Aku menjadi merasa bersalah telah mengundang Laily ke studio. Dengan begitu ia menjadi teringat kembali dengan kisah sedih yang sebenarnya sudah lama ingin ia lupakan.
Dua jam penuh kami di studio tersebut. Hampir semua kisah Laily diceritakan termasuk masalah perkawinan ibunya dengan lelaki lain setelah satu tahun tsunami terjadi. Dan selama dua jam tersebut, Laily tak berhenti menangis, kecuali ketika kami mencoba menghiburnya dengan cerita-cerita konyol.
Setelah acara talk show tersebut selesai, aku menawarkan jasa mengantar Laily ke kampus, sekalian menyampaikan rasa terima kasih atas kesediaannya memenuhi undangan dari tempat kerjaku.
“Gak apa-apa bang. Dengan acara seperti ini, Laily bisa meluapkan semua emosi yang Laily pendam,” ujarnya bersahaja ketika kuucapkan ribuan terima kasih padanya.
Sejak saat itu, aku kembali tertarik untuk mendekatinya. Apalagi setelah mendengar semua kisah yang ia tuturkan di acara talk show tersebut. Pastinya aku kini mendapat peluang untuk masuk ke kehidupan Laily, paling tidak sebagai seorang teman untuk bercerita. Karena pada dasarnya aku tak berani berharap untuk menjadikan Laily sebagai kekasihku.

Bagian : II
Kekecewaan Menimpaku

Ketenangan batin mulai terusik dengan bayangan wajah seorang gadis yang begitu bersahaja. Pada hakikatnya aku tidak ingin mengkhianati cintaku pada almarhumah kekasih ku yang telah pergi ketika musibah 24 Desember 2004 terjadi. Akan tetapi ada dorongan kekuatan yang menganjurkan aku untuk terus mendekati gadis itu. Baik itu dari hati ku sendiri, mimpi yang kulalui dan kawan-kawan yang rupanya memperhatikan sikap ku sejak adanya talk show tersebut. Berkat dukungan tersebut lah hatiku menjadi mantap untuk mencoba lebih dekat dengan sang perawan yang begitu menarik perhatian hampir semua mahasiswa yang ada di jurusan kami.
Salah seorang sahabatku, Mulya sering mengganggu ku dengan Laily. Baik itu melalui Hp maupun ketika kami berkumpul di kampus. Pernah Mulya mengundang kami untuk minum-minum di kantin, padahal intinya ia ingin menjodohkan aku dengan Laily. Aku tahu apa yang menjadi tujuan Mulya, kuhargai sikapnya dan memang itu yang kuharapkan. Meskipun aku masih galau menahan rasa setia ku kepada almarhumah kekasihku dulu.
“Gak ada salahnya mencoba. Kamu jangan jadi laki-laki bodoh. Fiera udah lama meninggal, sudah saatnya kamu melanjutkan hidup mu. Aku rasa, Laily cocok buat pendampingmu nanti,” ujar Mulya, ketika melihatku di suatu hari termenung di kantor.
“Maksud abang apa? (maklum usia Mulya lebih tua daripada ku)” tanyaku penuh dengan kepuraan.
“Kamu gak melihat reaksi Laily ketika memandang kamu. Nampaknya dia punya feeling sama kamu Zi,” Mulya meyakinkan ku
“Ah…abang ada-ada aja. Gak mungkin cewek secantik dia mau jadi pacarku bang,” aku mencoba merendah
“Siapa bilang. Toh kamu belum mencoba,” Mulya kembali meyakinkanku.
Benar juga apa yang dikatakan Mulya. Sudah saatnya aku melanjutkan hidupku dengan kisah asmara lagi seperti dahulu. Apa lagi riwayat hidup di kampus hampir berakhir, kalau tidak sekarang kapan lagi menemukan calon istri, batinku dalam hati.
Setiap hari aku mulai terlihat sibuk mondar-mandir antara kampus dengan kantorku. Kadang-kadang aku ke kampus hanya sekedar jajanan di kios langganan kami. Namun pada dasarnya aku hanya ingin melihat gadis yang mulai mengganggu hatiku itu. Sampai pada suatu hari, organisasi jurusan kami mengadakan kegiatan di pantai. Peluang baik untukku mendekati Laily dan menghabiskan waktu seharian penuh dengannya, pikirku.
Maka ketika acara tersebut digelar, dengan serta merta aku mendaftar secara lisan pada panitia, meskipun sebenarnya tanpa mendaftarpun aku mendapat undangan agar dapat hadir dalam acara tersebut. Tak hanya diriku yang tertarik dengan kegiatan ini, banyak teman-teman seangkatanku yang hadir, Jimmy misalnya.
Pada awalnya kesenangan menghampiri jiwaku ketika puas memandang wajah Laily dari dekat. Sampai pada akhirnya, aku ketiduran saat makan siang selesai. Entah berapa lama mataku terpejam. Kudapati aku ditinggal sendiri oleh teman-teman ku di atas pasir dan semut yang terus berkeliaran di atas tubuh ku. Sadar akan apa yang terjadi, aku bangkit dan mencoba mencari tahu kemana kawan-kawan ku. Ternyata mereka sudah terjun ke laut dengan bermacam ragam tingkah yang mereka lakukan. Dari sekedar mandi sampai berkejar-kejaran sembari melempar pasir antara satu dengan lainnya. Ketika sedang asyiknya menyaksikan tingkah pongah mereka, mataku menangkap sepasang muda-mudi di dalam laut.
“Hei…itukan Jimmy. Siapa pula cewek yang bersamanya?” batinku
Tiba-tiba aku sadar, cewek yang ada bersama Jimmy adalah Laily. Ya Laily gadis yang bertingkah aneh ketika berpas-pasan denganku, gadis yang kini mengusik tidur malamku. Kulihat mereka begitu mesranya bergandengan tangan di dalam laut. Hatiku terbakar api cemburu, tapi tak berani kuungkapkan. Di satu sisi cowok tersebut adalah sahabatku namun dilain sisi gadis itu adalah Laily, incaranku. Aku pun menjadi seperti manusia kaku, berdiri tegap tanpa berbuat apa-apa. Aku tak sanggup menyaksikan kemesraan mereka bercanda dalam air. Kuputuskan dengan sesegera mungkin untuk beranjak dari sana.
Untuk kedua kalinya aku kecewa dengan perasaanku pada Laily. Bagi ku tak mungkin lagi mengharap cinta Laily, karena ternyata ia sudah begitu akrab dengan Jimmy, sahabatku sendiri. “Aghh…dasar laki-laki bodoh, kenapa aku terlalu mengikuti perasaanku…” aku merutuk sikap ku yang mulai menyukai Laily.
Biarlah sahabatku mendapatkan cinta Laily. Dia pantas mendapatkan cinta gadis tersebut, aku percaya pada sahabatku itu.
Beberapa hari kemudian, terdengar kabar bahwa Laily dan Jimmy sebenarnya belum begitu dekat. Mereka hanya dekat ketika ada kawan-kawan lain bersama mereka. Dengan kata lain status Laily dan Jimmy belum jelas, pacaran tentu saja belum.
Mulya yang begitu ngotot menjodohkanku dengan Laily, bertindak nekat. Tepatnya hari Kamis, aku diundang oleh Mulya ke kantin untuk ngopi bareng. Aku sama sekali tidak mengetahui bahwa disana sudah ada Jimmy dan Laily serta kawan-kawan yang lain. Melihat kedatanganku, Laily menjadi salah tingkah, apalagi Mulya sering iseng mengganggu kami. Aku mencoba bersikap biasa-biasa saja, karena di sana ada Jimmy.
Akan tetapi setelah mendengar semua lelucon Mulya, Jimmy menjadi bimbang dan dengan serta merta setelah pertemuan itu berakhir mengajak ku bicara empat mata. Aku mulai sadar dan menebak apa yang sebenarnya ingin dikatakan Jimmy.
“Pasti soal cewek kan?” tanyaku pada Jimmy
“Kok kamu tahu?” ia balas bertanya
“Ya jelas lah. Aku ini kan penebak ulung,” jawabku sekenanya
“Tebakanmu benar teman. Ini memang masalah cewek. Lebih tepatnya ini masalah Laily, adik letting kita. Aku sudah berbuat salah teman, aku sudah mengkhianati kepercayaanmu. Padahal kamu dulu pernah berkata bahwa gadis itu menarik perhatianmu,” Jimmy membuat pengakuan dosa padaku.
“Hei…kamu ini apa-apaan sih?” aku mencoba menangkan dia yang sudah merasa sangat bersalah padaku.
“Mungkin tak semua yang kamu dengar tadi adalah benar. Bisa saja itu salah, apalagi omongan Mulya yang sekenanya saja mengganggu kami,” aku mencoba bersikap acuh tak acuh atas permasalahan ini.
“Kamu jagan seperti itu teman. Aku tahu sifat mu, sudah sekian tahun kita bersama,” Jimmy menekanku
“Baiklah…memang aku menyukai Laily. Tapi aku gak tahu kalau kamu juga menyukainya dan dekat dengannya. Kalau tahu seperti ini, aku akan memarahi Mulya ketika tadi mengganggu kami,” jelasku pada Jimmy
“Teman, aku percaya pada mu. Aku akan mundur demi persahabatan kita,” celetuk Jimmy mengagetkanku.
“Hei, kamu ini bagaimana sih. Logika nya kamu ini sudah begitu dekat dengannya sedang aku, bicara saja jarang,”
“Gak, aku minta maaf telah mencoba mengganggu orang yang ingin kamu dekati,” Jimmy masih saja merasa bersalah.
“Oke gini aja, kita coba dekati Laily sama-sama, kita lihat dia akan pilih siapa. Pastinya aku cuma memberitahukan sama kamu bos, laki-laki itu bukan pilihan,” aku mencoba memberikan solusi yang sebenarnya aku sendiri berat untuk menjalaninya.

Perang SMS…
Setelah perbincanganku dengan Jimmy siang itu, aku menjadi bersalah pada sahabatku itu. Ku putar otakku untuk mengambil jalan terbaik. Agar tidak ada yang tersakiti nantinya, disatu sisi ia sahabatku di lain sisi ia pujaanku. Jadi teringat sama lirik lagu yang lagi populer milik Ada Band.
Handphone dalam kantong ku genggam erat. Nekat demi sahabat gak ada salahnya. Ku cari nomor Laily yang masih tersimpan dengan rapi di ponselku. “Ini dia,” batinku setelah mendapatkan apa yang kucari.
Jimmy itu laki-laki baik. Abang udah kenal sama dia sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Kalau Jimmy nembak Laily terima aja. Kita mau kok berkorban demi kalian, setelah mengetik pesan tersebut kukirim pada Laily setelah berpikir beberapa kali.
Rupanya Laily merespon dengan cepat
Maksud bang Razi apa? Bang Jimmy gak pernah nembak Laily, bahkan mengatakan isi hatinya saja belum, balasnya
            Ah jangan pura-puralah dek, abang tahu kalian saling menyukai…balasku lagi
            Bang, maksud abang rela berkorban tadi apa? Dia malah berbalik menyerangku. Jelas saja aku kelabakan dengan pertanyaan ini. Terdiam beberapa menit, membuat Laily mendial nomorku beberapa kali. Terang saja tak kuangkat, aku jadi serba salah. Akhirnya kucoba jujur pada Laily bahwa aku sebenarnya menyukai dia sejak dulu.
            Apakah abang sekarang rela ngelepasin Laily untuk kedua kalinya? Pertanyaan inilah yang membuat aku seperti di cambuk dengan keras, ia menantangku untuk lebih meluapkan perasaanku. Maka untuk selanjutnya aku berbicara jujur kepadanya bahwa aku mempunyai harapan untuk menjadikan ia sebagai kekasihku. Tapi Laily tak mau pacaran, ia ingin menikah, bukan pacaran. Aku mencoba meyakinkan Laily, karena pada dasarnya aku pun tak ingin pacaran lagi. Yang kucari adalah calon istri. Ternyata inilah yang membuat Laily menerima cintaku. Tanpa kusadari aku telah memotong perjuangan Jimmy sahabatku.





Bagian : III
Dunia Terasa Milik Berdua

            Setelah meluapkan segala isi hatiku, akhirnya Laily menerima cintaku. Kami berkomitmen menikah bukan pacaran, karena Laily sangat menginginkan nikah sambil kuliah. Bagiku itu bukanlah sebuah masalah besar, justru ini menjadi pembangkit semangat ku untuk bekerja lebih giat guna mempersiapkan pernikahan yang sebetulnya aku tidak sadar apa yang akan ku hadapi nanti.
Kehadiran Laily dalam kehidupanku, membuat hatiku menjadi riang. Tiada hari tanpa tersenyum dan bergembira. Meskipun jarang bertemu, khabar darinya selalu antri di ponselku. Inilah yang membuat diriku menjadi semangat dalam bekerja. Terkadang perhatian yang diberikan Laily memanjakan diriku yang sebenarnya liar dengan kepribadian mandiri. Aku mulai terikat dengan Laily. Satu waktu saja tak ada kabar darinya, hatiku menjadi gusar, begitu juga sebaliknya dengan Laily. Dunia saat itu seakan-akan milik kami berdua.
Bulan pertama hubungan kami, hanya beberapa kali aku bertemu dengan sang kekasih, itupun selalu ditemani oleh temannya, Jinny dan cowok Jinny. Meskipun begitu, kami merasa sangat senang, yang penting bisa bertemu adalah anugerah yang terindah bagiku dan Laily.
Rasa kasmaran yang kami rasakan menarik kami agar selalu bertemu. Terkadang aku mencoba mencuri waktu kerja hanya untuk bertemu Laily. Jadwal makan siang adalah waktu yang paling tepat keluar kantor sembari menagajak Laily makan. Tentu saja Laily mau, namanya saja orang lagi jatuh cinta.
Sejak saat itu, aku mulai begitu manja dengan Laily. Terkadang kuhabiskan hari untuk memandangi, bercanda bahkan sekedar ngobrol dengannya dan teman-teman. Sehingga kebiasaan itu membuat aku sering absen di kantor. Bulan kedua kami berhubungan, jalan-jalan adalah jadwal bersama yang kami jalani. Tentu saja disela-sela waktu kosong kuliah Laily. Tapi bagiku tidak ada kata waktu kosong sehingga kerja pun sering bolos.
Karena merasa saling membutuhkan, aku berhenti bekerja dan kembali fokus pada kuliahku. Hitung-hitung bisa setiap hari bertemu dengan sang kekasih. Namun kebahagiaan kami terusik dengan datangnya kabar bahwa ada laki-laki yang ingin meminang Laily. Aku menjadi gelisah tentang hal ini. Padahal aku tahu, semua jawaban itu ada pada Laily, kalau memang dia menerima maka berakhirlah hubungan kami tapi aku sangat berharap ia menolak lamaran tersebut. Bagi Laily, menjalani hari bersamaku adalah hal yang paling membahagiakan.
Namun kegundahan Laily disampaikan padaku. Ia bertanya padaku apakah aku serius akan melamarnya. Tentu saja kujawab iya, karena memang aku menginginkan Laily menjadi Istriku bukan cuma seorang pacar. Untuk membuktikan keseriusan ku tersebut Laily menantang ku untuk datang kerumahnya serta menyatakan niatku pada ibunya. Awalnya aku ragu, karena belum ada apa-apa untuk meminang Laily. Aku butuh waktu, tapi tentu saja kupenuhi permintaannya untuk bertemu dengan ibu Laily. Silaturahmi itulah yang terpenting bagiku saat itu.
Kecerobohan ku mengutarakan niat untuk menikah dengan Laily serta kejujuran akan hubungan kami, ditanggapi dingin oleh keluarga Laily. Mereka hanya mengatakan Laily harus tamat kuliah dulu baru boleh menikah. Untuk saat ini, Laily fokus kuliahnya masalah dengan siapa nanti menikah bukanlah sebuah persoalan bagi Ibunya, “yang penting Laily bahagia…” ujarnya padaku waktu itu.
Walaupun begitu, kami merasa lega karena telah jujur pada Ibu Laily. Kamipun seperti raja dan ratu di dunia ini. Kabar ini terus ku sebarkan pada sahabat-sahabat ku. Ada yang merespon positif ada pula yang negatif. Tapi semua mendukungku agar lebih semangat untuk menggapai cita-cita kami untuk menikah.

Bagian : IV
CINCIN Malapetaka

Setelah melewati hari sedemikian hangat, akhirnya aku membelikan sebuah cincin emas hasil dari hadiah lomba penulisan berita untuk Laily. Bagiku, cincin itu kuanggap sebagai bukti cintaku pada Laily dan sekaligus sebagai simpanan kami menuju bahtera rumah tangga. Waktu itu, dunia seakan-akan milik kami berdua. Kami betul-betul sedang dimabuk cinta yang amat sangat, sampai akhirnya kami melupakan orang-orang yang ada disekitar kami.
Namun kebahagiaan itu hanya sementara saja. Kami mulai diusik oleh sikap Ibu Laily yang mulai curiga dengan hubungan yang aku dan Laily jalani. Ketakutan ibunya berlebihan ketika ia mengetahui bahwa cincin emas yang ada di jari Laily adalah pemberian dari ku. Informasi itu ia dapatkan dari Jinny, sahabat Laily. Jinny terpaksa membongkar rahasia kami setelah ibu Laily memaksa dan menangis di hadapannya. “Jinny gak tega dengan curahan air mata Ibu Laily bang, Jinny berharap bang Razi gak marah ya sama Jinny” jelas Jinny padaku, ketika aku dan Laily bertanya kenapa Ibu tahu masalah cincin tersebut.
Semakin hari, perjuangan cinta yang kami tempuh semakin berat. Ibu dari sang gadis mulai menaruh rasa benci terhadapku. Ia mulai mengusik hubungan kami dengan berbagai cara, baik secara menyindir Laily di setiap waktu maupun memarahinya ketika namaku disebutkan.
Kegusaran sang ibupun memuncak dan akhirnya menghubungi adik laki-lakinya untuk memperingtkan aku agar jangan macam-macam dengan anaknya. Lebih kurang jam delapan malam, aku terima telepon dari sang Ibu. Waktu itu, aku sedang berbincang dengan nenek mengenai hubungan kami yang mendapat tantangan dari orangtua sang gadis.
“Hallo…Assalammualaikum” terdengar suara Ibu Laily mengucapkan salam
“Wa alaikum salam” jawabku
“Ini Razi kan? Ini ibunya Laily nak. Razi sekarang ada dimana?” tanyanya lagi akrab
“Oh…Ibu, Razi lagi dirumah bu,” jawabku
“Benar di rumah? Di rumah mana?” tanyanya lagi penuh kecurigaan
“Di Punge bu,” jawabku singkat
“O ya, besok Razi ada waktu untuk ke rumah? Paman Laily mau ngomong sama Razi,”jelasnya padaku.
“Insya Allah bu, besok kebetulan saya libur kerja. Mungkin sekitar jam-jam 2 saya ke rumah Ibu,” aku mencoba memberikan waktu yang pasti untuk bertamu ke rumah Laily.
“Baiklah…terima kasih nak ya. Assalammualaikum” tutupnya
“Waalaikum salam….” Jawabku
Nenek yang dari tadi menyimak pembicaraan kami, menanyakan padaku siapa yang menelepon. Aku menjelaskan pada nenek bahwa mama nya Laily meminta ku ke rumahnya. Nenek menjadi heran tapi ada sedikit senyuman di bibirnya. Ia mencoba menenangkanku yang dari tadi mengeluh atas sikap ibunya yang tempramental terhadap hubungan kami.
“Datang aja, mungkin kabar baik. Atau mungkin pamannya mau bersilaturahmi dengan kamu, nak,” hibur nenek ku.
“Entahlah nek, Razi kok merasa gelisah ya?” jawabku sekenanya.
…………………………………………………………………………….
Cucuran keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Sudah dua jam aku menunggu kedatangan seorang lelaki yang mengaku bertanggung jawab atas kehidupan orang yang ku kasihi. Kulirik jam berkali-kali, mulutku mulai terasa asam, maklum sudah sedari menit pertama kedatanganku ke rumah gadis ini, sebatang rokok pun tak terbakar oleh ku.
Hari ini aku memulai episode keseriusan dengan seorang wanita. “Menikah…” begitulah batinku. Seakan tak percaya dengan apa yang akan kuhadapi. Aku membayangkan akan ada kemarahan yang sanagat besar ketika laki-laki itu datang. Hal ini disebabkan sebuah cincin pemberianku yang menghiasi tangan Laily, kekasih hati yang baru tiga bulan ku kenal.
“Assalammua’alaikum…” seorang laki-laki memberikan salam, tanpa memperkenalkan diri dia langsung menuju ke dapur rumah sederhana itu. Lalu dia kembali ke ruang tamu dan duduk berhadapan denganku.
“Saya tidak setuju kalau kalian menikah sekarang. Apa maksud kamu dengan cincin yang dipakai Laily?” serangnya tanpa basa basi.
Aku sontak kaget dengan serangan pertanyaan itu. Langsung ke inti masalah. “Maksud bapak apa?” tanyaku memberanikan diri.
“Kamu tahu bahwa Laily masih berusia muda? Dia harus memenuhi wasiat ayahnya untuk menyelesaikan kuliahnya” ungkapnya dengan nada tinggi.
“Pak, sebenarnya saya ingin menjelaskan permasalahan ini dulu. Tapi kalau bapak marah seperti ini, saya tidak bisa berkomentar apa-apa” jawabku mencoba menenangkan suasana.
Sementara itu, Laily yang kupinta mendampingiku menunduk dalam, hening. Aku memutar otakku, mencari bahasa yang akan kupakai agar si bapak tak bertambah marah. Akhirnya aku pun berkomentar atas pertanyaan-pertanyaan tadi setelah kulihat bapak itu mulai tenang.
“Pak, kalau masalah cincin itu, saya cuma menitipnya sama Laily, itu sebagai tabungan menuju masa depan kami untuk menikah. Kalau pun keluarga bapak memaksakan saya untuk menikah dengan Laily sekarang, saya belum sanggup. Saya tidak bermaksud meminta Laily menikah sekarang, apalagi saya tahu bahwa mendiang ayahnya pernah berwasiat agar Laily menyelesaikan kuliah terlebih dahulu,” jelasku dengan muka menunduk.
Setelah mendengar hal tersebut, lelaki yang berkumis itu pun mulai mengerti duduk persoalannya. Setidaknya itu terlihat dari sikapnya yang mulai lembut berbicara.
“Sebenarnya saya tidak pernah melarang hubungan kalian, apalagi ini menyangkut masalah hati dan bathin. Tidak ada orang yang akan mengerti dengan masalah bathin orang lain, tapi abang berjanji akan menjaga hubungan kalian asalkan kalian tidak minta menikah sekarang. Jika ada yang mengganggu hubungan kalian, abang yang akan menjadi pelindung hubungan ini,” ujarnya seraya tersenyum.
Hatiku mulai tenang, begitu juga dengan Laily yang mulai mendongakkan kepalanya. Ternyata kedua mata gadis itu telah basah oleh air mata, entah karena takut atau terharu, hanya dia yang tahu. Pembicaraan tersebut berakhir dengan beberapa tawa kecil, hasil guyonan lelaki tersebut.
Setelah ditegur oleh suara azan, kami pun mengakhiri perbincangan itu. Aku merasa lega, seakan-akan beban di kepala sudah tidak ada lagi. Kuharap Laily juga begitu.
Detik berganti menit kemudian jam dan terus menjadi hari. Aku dan Laily seperti terbebas dari kungkungan sang Ibu yang terus menerus mencurigai hubungan kami. Ternyata apa yang kami harapkan tak pernah mencapai jalan yang mulus. Semakin hari, ibu Laily semakin menekan dan mengawasi Laily secara ketat. Bahkan ketika ia kuliah, Laily selalu diamanahi untuk segera pulang.
Kami mencoba tegar dengan sikap ibunya yang uring-uringan. Karena faktor inilah, aku semakin dekat dengan Laily. Hampir setiap hari kami lewati bersama, walau hanya sekedar mengobrol panjang lebar maupun hanya minum segelas air putih, yang penting bagi kami melewati hari bersama adalah hal yang paling membahagiakan.
Sampai akhirnya aku mendengar kabar yang sangat mengganggu hati dari Laily. “Bang, mama minta adek mengembalikan cincin yang abang berikan,” Laily memberitahukan berita yang sama sekali tak ingin kudengar lagi. Seharusnya kami sekarang bisa konsen dengan kesibukan kami. Aku bekerja dan Laily kuliah sambil menunggu waktu tiga tahun ke depan untuk menikah. Tapi pertemuan yang baru saja berlalu sekitar seminggu lalu dengan hasil menggembirakan menjadi berubah seiring berjalannya waktu.
Jelas aku kaget dengan apa yang dikatakan oleh Laily. Bukankah lelaki yang mengaku bertanggung jawab penuh dengan kehidupan Laily sudah berjanji untuk tidak menghalangi hubungan kami ini. Tapi aku sadar, sesadar-sadarnya bahwa mulut manusia memang tidak pernah bisa dipegang begitu saja.

Kamipun berbuat nekat…
Kebahagiaan yang sangat kami harapkan berubah menjadi kecemasan yang luar biasa. Kecemasan dan rasa takut untuk dipisahkan oleh orang-orang yang tidak setuju dengan hubungan kami ini. Apalagi saat itu, ibunya memberikan reaksi keras terhadap hubungan kami.
Perasaan itulah yang membuat aku dan Laily sering menghabiskan waktu bersama. Terkadang Laily nekat bolos kuliah hanya untuk duduk ngobrol denganku. Dari gelagatnya itu aku mencium ada yang tidak beres dengan hubungan ini.
Setiap malam Laily mengeluhkan sikap ibunya terhadap hubungan kami. Banyak sekali penderitaan yang ia alami. Dan banyak pula pesan-pesan yang ia kirimkan mengganggu pikiranku untuk bekerja. Salah satu pesan yang sangat mengusik batinku adalah keinginannya untuk tidak mau berpisah dariku, baik itu disebabkan oleh Allah maupun oleh orang tuanya.
Setelah melewati kecemasan-kecemasan tersebut, tepatnya dihari ulang tahunku, Laily memberikan sebuah ciuman hangat ke bibirku. Ciuman dari Laily merupakan ciuman pertama dalam kehidupanku bercinta. Aku terkejut dengan sikap Laily, tapi aku tak sanggup menolak ciuman tersebut. Sejak saat itu, rasa khawatir untuk tidak terlalu dekat bukanlah suatu hal yang bisa menghalangi kami bertemu.
Sementara itu, sikap ibunya terhadap ku pun semakin jelas. Terkadang Laily bertemu dengan ku dalam keadaan mata yang sembab seperti baru menangis, tapi ia tak pernah jujur pada ku apa yang sebenarnya terjadi. Ia seakan-akan berubah dari gadis yang kukenal. Tingkahnya begitu liar dan selalu ingin memelukku. Melihat hal ini, aku bukannya bahagia melainkan curiga, ada apa sebenarnya dengan Laily.
Hari demi hari kami lewati bersama, selalu dibarengi dengan ciuman dan pelukan hangat. Kami tak sadar bahwa sebenarnya hubungan kami belum halal untuk melakukan hal-hal seperti itu. Perbuatan-perbuatan dosa tersebut terus berlanjut sampai akhirnya Laily menantangku untuk berhubungan badan. Walau bagaimanapun hal ini tak ingin kulakukan kepada orang yang sangat kusayangi. Aku menjadi khawatir dengan sikap Laily yang menjadi berubah seperti ini.

Misteri kehidupan Laily…
Setelah beberapa kali aku memaksa Laily untuk jujur padaku, akhirnya Laily menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Berawal ketika musibah menjemput kota kami, dua hari setelahnya Laily hampir diperkosa oleh dua orang pria di rumah sakit tempat ia dirawat. Seluruh badan dan organ vitalnya disentuh oleh dua lelaki bejat itu. Laily tak kuasa melawan karena dalam kondisi pesakitan. Untung saja saat itu ada perawat medis yang datang sehingga kedua pelaku percobaan pemerkosaan itu melarikan diri. “adek gak kenal sama mereka, wajahnya pun gak berapa ingat lagi. Tapi yang adek tahu, mereka tinggal di sekitar Lampaseh Aceh,” ungkap Laily seraya menangis.
Selaksa petir menyambar di siang hari, hatiku menjadi begitu perih menahan amarah yang bergejolak dalam dada. Seandainya Laily mengenali kedua pria itu, aku akan menaikkan laporan ini pada yang berwajib. Tapi sayangnya, Laily tak mampu mengingat kedua wajah itu.
Tak sampai disitu saja, rupanya Laily mempunyai kisah asmara dengan beberapa laki-laki sejak usianya masih dini. Namun dari sekian laki-laki itu hanya ada dua laki-laki yang menyentuh dan mencium bibir Laily, yaitu Jaya dan Iwan saudaranya sendiri.
Hubungannya dengan Jaya dikarenakan rasa sakit hati Laily pada Reza mantan kekasih yang meninggalkannya tanpa alasan. Oleh karena itu, Laily mencari pelarian dan melampiaskan emosinya pada Jaya. Setelah berhubungan sekian lama, ternyata Ibu Laily tak merestui niat Jaya untuk menikahi gadis ini. Sehingga terjadilah perdebatan sengit dalam keluarga kecil tersebut yang menyebabkan Laily melarikan diri dari rumah.
Ketegasan ibu Laily yang sangat arogan membuat gadis ini mencoba mempertahankan hubungannya dengan Jaya. Kenekatan Laily berlebihan dengan menyuguhkan ciuman hangat pada Jaya. Tentu saja hal ini tidak mampu membendung perpisahan yang dilakoni oleh ibunya tersebut. Laily dan Jaya tetap berpisah dengan meninggalkan emosi dalam benak Laily. Keadaannya yang labil membuat Laily terjerumus dengan hubungan suka sama suka. Mendapatkan Iwan, seorang laki-laki yang sebenarnya mempunyai hubungan dengan keluarga Laily, amarahnya menjadi terlampiaskan. Setiap waktu bertemu dengan Iwan, tubuh Laily menjadi santapan bagi laki-laki ini.
Namun, seperti kata pepatah, habis manis sepah dibuang, Iwan merasa bosan dengan Laily sehingga iapun meninggalkan Laily. Sejak saat itulah Laily sadar dengan perbuatan nya yang menyimpang selama ini. Laily mulai jera dengan kata-kata pacaran, sejak saat itu bila ada laki-laki yang mendekatinya Laily selalu menuntut kejelasan hubungan mereka. Sampai akhirnya Laily bertemu denganku.
Setelah mendengar kisah hidup Laily yang begitu kelam, ada rasa galau dalam hatiku. Namun perasaan cintaku tak pernah surut pada gadis ini. Aku menganggapnya masih suci, sesuci kapas putih dan awan di hari yang cerah. Aku sadar semua perbuatan Laily bukanlah atas keinginannya sendiri. Ini lebih disebabkan sikap hyperprotektif sang ibu padanya.
Merasa sudah membuka aib kehidupannya, Laily tak lagi merasa malu denganku. Ia tak segan mendekatiku seperti seorang istri yang begitu manja pada suaminya. Setiap malam ia merayuku dengan kata-kata yang bisa memancing hawa nafsu setiap lelaki. Beberapa kali aku menasehatinya, tapi Laily menjadi tersinggung dan kesal padaku. Sering kudapatkan ia marah padaku setelah aku menasehatinya. Keadaan inilah yang membuat aku menjadi sangat tersiksa.
Akhirnya setelah melewati beberapa masalah yang semakin pelik, aku dan Laily berubah menjadi manusia binal dan penuh dengan dosa. Setiap centi tubuhnya telah kujelajahi tanpa ada yang terlewati. Laily menikmati belaian tanganku ke tubuhnya, seakan-akan tanpa dosa. Hal tersebut membuat aku dan Laily menjadi ketergantungan akan sex bebas.
Perbuatan kami ini tentunya tidak ada yang mengetahui kecuali aku, Laily dan Allah. Kami menunggu waktu sepi untuk bermesraan di suatu tempat dimana tidak ada orang yang mencurigai perbuatan kami.
Walaupun sebenarnya perbuatan yang kami lakukan adalah dosa besar, aku dan Laily tak pernah berniat memikirkan hal tersebut sebagai sebuah larangan agama. Semakin besar tekanan yang diberikan ibunya, semakin liar pula hubungan kami. Hingga akhirnya Laily sudah tak tahan atas sumpah serapah sang ibu dan keluarga besarnya.

Bagian : V
Masalah yang Kami Hadapi Semakin Besar

Perjuangan untuk mencapai cita-cita semakin jauh dari harapan. Aku ingat Laily pernah mengatakan padaku ia sering menghayal, kami jalan-jalan naik sepeda motor dengan menggendong bayi cewek mungil berjilbab pink dipangkuan. Bahkan Laily mengatur rupa anak kami nanti. Ia sangat menginginkan anak kami nantinya mempunyai bulu mata lentik seperti bulu mataku. Rambutnya seperti rambut Laily, bibirnya seperti bibirku dan kulitnya seperti kulit Laily yang putih.
Tentu saja cita-cita itu menjadi pembahasan kami kadang-kadang ketika ketemu. Bahkan aku menambahkan bila nantinya Allah mengijinkan kami untuk menikah, aku menginginkan tiga orang anak yaitu, dua anak laki-laki dan satu perempuan. Tentu saja itu hanya khayalan yang ingin kami wujudkan. Bahkan terkadang kami menyempatkan waktu mutar-mutar untuk melihat daerah mana cocok untuk menetap nantinya bila sudah berkeluarga.
Cita-cita kami tersebut ternyata mendapat tantangan serius oleh keluarga Laily, sampai akhirnya kekasihku itu memberikan kabar yang sama sekali tak ingin kudengar. Pengembalian cincin yang pernah kuberikan padanya, tak mampu lagi ia pertahankan. Orang tuanya semakin kasar pada Laily.
“Alasannya kenapa?” tanyaku pada Laily
“Gara-gara cincin ini, adek digosipkan oleh orang-orang kampung sudah bertunangan. Mama sangat tersinggung dengan hal ini, makanya mama menyuruh adek agar mengembalikan cincin ini,” jelas Laily kepadaku
“Menurut adek gimana?” tanyaku lagi
“Ya…bagi adek ambil jalan terbaik aja bang. Cincin ini kan cuma sebuah benda, yang penting kan hati kita,” jelas Laily polos.
“Ya benar, cincin itu hanya sebuah benda, tapi adek tahu benda apa itu? Itu adalah lambang keseriusan cinta abang terhadap adek. Kalau adek gak sanggup mempertahankan cincin itu terus melingkar di jari manis adek, abang sangat yakin adek juga tidak akan mampu mempertahankan cinta kita,” jelasku pada Laily.
“Bang…butuh puluhan tahun untuk mama menghilangkan cinta adek kepada abang. Abang telah menorehkan rasa cinta di hati adek dan tidak akan mungkin bisa dihilangkan oleh siapapun,” Laily mencoba meyakinkan aku.
“Baiklah…tapi abang masih belum bisa mengerti dengan sikap mama adek. Abang gak mengerti dengan sikap keluarga adek yang plin plan dalam menyikapi hubungan kita,” sergah ku padanya.
“Adek juga gak ngerti dengan sikap mama, lebih baik adek mati aja bang daripada mama memisahkan kita. Mama egois kali,” ucap gadisku, entah itu kata-kata spontan yang ia keluarkan karena ia memang mencintaiku atau cuma untuk menghiburku saja.
Akhirnya cincin itupun kembali ke tanganku. Aku merasa tersinggung dengan pengembalian cincin itu. Aku sudah tahu apa arti pengembalian benda emas ini. Mulai saat itu, aku menjadi gelisah ketika malam mendatangi kehidupanku. Aku terus merasa akan ada rasa sakit yang akan kutempuh nantinya, entah itu untuk kemenangan kami atau kekalahan diriku.

Bagian : VI
Penghinaan dari sang Ibu

Setelah beberapa hari pengembalian cincin tersebut, sikap Laily betul-betul sudah berubah. Perhatiannya kepadaku sama sekali berkurang, bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Tak ada lagi ucapan sayang disetiap pembicaraannya padaku. Hatiku menjadi gundah sampai pada suatu hari aku menyerang Laily dengan beberapa pertanyaan mendesak agar ia jujur padaku.
Keanehan itu ternyata disebabkan oleh ibunya yang kini betul-betul bersikap otoriter pada Laily. Entah kenapa hal ini sampai terjadi aku juga tak tahu. Kemudian atas beberapa ilmu investigasi yang kupunyai, aku mengetahui duduk persoalannya. Laily kini dijodohkan oleh ibunya dengan seorang pria yang dulu pernah melamarnya, namun ditolak oleh sang ibu dengan alasan kuliah, sama seperti penolakan ibunya kepadaku. Pastinya sang ibu tak merestui hubungan kami untuk menikah, bahkan mengancam apabila Laily tetap menikah denganku, ia tidak akan dianggap menjadi anaknya lagi dan mendoakan agar rumah tangga kami selalu bermasalah.
Paksaan yang diberikan sang ibu membuat Laily menyerah pada nasib, meskipun dua kali ia mencoba bunuh diri untuk mempertahankan cinta kami. Mengetahui hal tersebut, hatiku menjadi hancur. Apa yang kami cita-citakan takkan pernah terlaksana. Apalagi ketika Laily telah memilih berbakti pada orang tuanya. Aku pasrah menjalani cintaku yang tersakiti.

Berubah pikiran…
Setelah memutuskan untuk berpisah denganku, Laily mencoba bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Ibunya di suatu tempat. Pada saat itu pula aku menginginkan bertemu dengannya dan meminta penjelasan pada Laily.
“Kenapa jadi seperti ini?” tanyaku pada Laily yang disambut dengan sikapnya yang dingin. Ia diam tak bersuara, sepatah katapun tak keluar dari mulutnya. Menyadari hal ini aku kembali mengajukan pertanyaan pada Laily.
“Keputusan adek sudah bulat?” tanyaku lagi yang diiyakan dengan anggukan. Hatiku hancur seperti dihantam tsunami tempo hari. Aku terdiam dan menangis dalam kesakitan. Setelah mengetahui apa yang terjadi aku mencoba bersikap dewasa. Ku nasehati dia agar menjadi istri yang sholeh dan anak yang berbakti pada orang tua. Jalankan wasiat ayah adalah yang utama dari pesan-pesanku. Aku tak mampu menahan deraian air mata, begitu juga Laily yang akhirnya menangis tersedu, meminta maaf padaku karena tak mampu mempertahankan cinta kami.
Namun bagiku itu tidak berarti lagi, yang kutahu hanya satu, aku dikhianati oleh orang yang kucintai. Setelah sekian banyak pengorbanan yang kami lakukan, gadisku menyerah pada sang Ibu yang tak tahu apa-apa tentang kepribadian Laily di luar rumah.
Pertemuan itupun terjadi antara aku, Laily dan calon suami pilihan ibunya. Dalam hati, perasaan dendam dan emosi yang mendera begitu besar. Akan tetapi aku tak mau meluah kan di depan gadisku. Aku tak mau dianggap konyol hanya karena mempertahankan cinta yang sebenarnya tak layak lagi kuperjuangkan. Aku hanya berpesan pada laki-laki itu untuk menjaga Laily dan mencintai Laily sepenuh hati. Meskipun aku mencoba tegar tapi nyatanya aku sangat terpukul dengan hal ini. Setelah sekian banyak perbincangan yang terjadi aku mengundurkan diri dari tempat tersebut, begitu juga dengan Laily dan lelaki itu.
Aku pulang dengan perasaan yang terluka, hampir saja kendaraan yang di depan tak terlihat oleh ku. Sepulang dari tempat itu aku menuju pesisir laut untuk menenangkan diri. Tapi aku tak bisa, sampai akhirnya malam menjemputku.
Bang baju adek yang abang balikin masih tercium bau badan abang. Adek rindu dengan wangi tubuh abang, sms itu datang ketika aku sedang melawan cinta yang tersakiti.
Bang tadi adek sms laki-laki itu, adek ceritain sebenarnya bagaimana hubungan kita, dan alasan kenapa adek mau menikah dengannya. Ia telah mundur, walau mama tetap menginginkan laki-laki itu menjadi suami adek. Laki-laki itu tetap menolak, katanya ia tidak mungkin memaksa adek untuk mencintainya karena tidak mungkin cinta bisa dipaksakan. Adek gak bisa pisah dari abang, adek butuh abang. Kejadian tadi pagi membuat adek betul-betul sadar bagaimana rasanya jadi manusia tanpa cinta. Adek akan bilang sama mama kalo adek gak bisa menikah dengan dia karena adek gak mencintai dia. Adek mau tanya ma abang, apakah abang mau melanjutkan perjuangan kita? Tolong balas, lagi-lagi pesan dari Laily masuk ke ponselku. Ia meminta kembali setelah menyakiti hatiku tadi pagi. Aku diam karena pulsa yang kupunyai pun sudah habis.
Bang tulong neubalah sms lon. Laon han jeut u loen eh meunyoe hana lon teupu jawaban dari droen, sms dari gadis ku lagi-lagi masuk, ia betul-betul menginginkan jawaban dariku malam itu. Malam ketika aku tersakiti oleh jawabannya tadi pagi.
Melihat keseriusannya untuk memperbaiki hubungan kami, akhirnya aku mencoba untuk memaafkan perkataannya kemarin. Namun tak ingin terjebak dengan permainannya ku ajukan komitmen untuk menjaga jarak selama tiga tahun. Ia fokus dengan kuliahnya sedang aku mencari mas kawin kami dan sekaligus ingin membuktikan pada ibunya bahwa aku bukanlah seperti yang beliau kira.
Kegalauan Laily belum berhenti, dan kali ini betul-betul serius setelah datangnya ancaman dari sang paman yang dulu pernah berjanji padaku untuk tidak mengganggu hubungan kami asalkan Laily menamatkan kuliahnya. Tak hanya itu, ibu yang kian beringas berkata kasar padaku di suatu malam ketika aku mencoba mengembalikan bajunya yang tertinggal di kampus. Ibunya mengatakan lebih baik baju itu dibuang saja daripada harus diberikan pada Laily. Aku terpukul, benar-benar terpukul dengan kata-kata sang ibu yang kasar seperti itu.
Aku semakin yakin bahwa cinta ini memang tak mungkin lagi dipertahankan setelah gadisku menyerah dan menerima laki-laki itu untuk menikah. Bahkan ia mengatakan padaku pernikahan itu akan dilaksanakan secepat mungkin. Aku hanya bisa berdoa pada Tuhan agar Laily bahagia menempuh hidup barunya. Tapi tanpa kututupi, aku juga menaruh dendam pada keluarga Laily yang mengingkari janji.
           
Menentramkan hati…
Aku berjalan gontai menyusuri bebatuan tanggul laut Ulee lheu. Pasrah pada nasib cintaku yang terlalu banyak ikut campur pihak ketiga di dalamnya. Aku terpekur di atas batu tanggul tersebut. Ketika pikiranku galau dan hatiku sakit, seorang laki-laki melihat ku dan mencoba menanyakan apa yang terjadi denganku.
“Baru kali ini aku dihina bang, aku dianggap persis sama persis seperti anjing dan babi, bahkan lebih dari itu. Barang yang telah aku pegang, dianggap najis oleh ibunya” ungkapku kepada salah satu pemuda yang simpati melihatku bermurung durja di tepi laut, persis di pesisir pantai kota Banda Aceh. 
Ketika itu, pikiranku sedang kacau persis sama seperti ombak yang bergemuruh memecahkan karang. “Memang kenapa kamu berkata seperti itu? Siapa yang tega menghina manusia serendah itu?” selidik lelaki tersebut. Kelihatannya ia tertarik dengan kata-kataku tadi. “Orang yang sangat kuhormati, ibu dari kekasihku,” jawabku sembari merunduk memperhatikan kepiting yang sedang bermain disela-sela bebatuan.
“Kamu menyakiti hati mereka kadang…atau kamu sudah berbuat salah kepada mereka tanpa kamu sadari,” simpul lelaki itu mencoba mencari jawaban dari permasalahan yang sedang aku hadapi. “Mencintai dan ingin menikahi anaknya…apakah itu salah?” serangku pada lelaki itu. 
Lelaki itu terdiam sejenak sembari menghisap rokok yang sedari tadi dibakarnya. Ia mengatakan padaku yang masih bermurung durja, bahwa dunia ini memang telah berubah. Hidup di alam nyata bukanlah hidup seperti hidup di negeri dongeng atau kisah cinta Romeo dan Juliet, dimana cinta itu adalah segalanya. “Orang tua yang sekarang lebih bahagia melihat anaknya menikah dengan orang pilihan mereka dari pada harus merestui pilihan anaknya, betul kan?” dia mengiyakan padaku
“Lebih kurang seperti itu. Aghh…seandainya aku lelaki bejat, aku tak mau mengutarakan niatku untuk menikahi anak mereka, sebanyak dua kali sudah aku melamar tapi tetap ditolak. Padahal aku dan anaknya sudah terlalu jauh dalam berhubungan disaat hubungan kami tidak direstui, kami khilaf…aku tidak berani mengatakannya secara jelas bang, aku malu. Oleh karena itu aku mau bertanggung jawab atas semua perbuatanku. Tapi sayangnya mereka malah membenciku,” ungkapku dengan terbata-bata. Otakku yang kian sakit, terasa seperti teriris dan kemudian disiram air jeruk untuk menambah kepedihan mengingat tuduhan ibunya kepadaku. “Aku dituduh menyantet anaknya bang,” lanjutku dengan deraian air mata tanpa kusadari telah mengucur dari kedua bola mata yang kian sayu.
Sementara itu, mentari mulai menyusup ke balik pegunungan disebelah barat untuk menuju peraduannya. Ia sama sekali tak memperdulikan satirnya hidup anak manusia yang sedang menatap bumi dan langit dengan sedihnya. Panggilan azan terdengar merdu mengalun dari corong mesjid yang tak jauh dari tempat kami berbincang. Sebentar lagi malam menyapa, hatiku kian resah karena malam adalah saat-saat menegangkan untuk kulalui. Siluet perbuatan antara aku dan gadisku terbayang jelas dimata ini. Penyesalan akan perbuatan tak mendapat ampunan semakin nyata ketika niat hatiku ditolak oleh orangtuanya.
“Ayo…kita shalat dulu, nanti kita cari penyelesaiannya sama-sama,” tegur laki-laki itu membuyarkan lamunanku. “Baiklah…mungkin dengan mendekatkan diri pada Allah adalah jalan terbaik” batinku.
Debur ombak kian menyayat hati ketika shalat jamaah sedang berlangsung. Hening, selain imam yang sesekali memerintahkan rakaat dan membaca ayat-ayat Al-Quran dalam shalat tersebut. Setelah jamaah selesai, aku tidak langsung beranjak dari mesjid. Kucoba menenangkan diri dengan bertafakkur mengharap ridho dan ampunan dari Allah. Tiba-tiba aku teringat, ada yang menungguku diluar. Lelaki itu pasti sudah disana. 
Kudapati seorang manusia dengan pakaian bersih, putih tanpa noda. Aku takjub melihat performance laki-laki itu. Dengan waktu yang singkat ia mampu merubah penampilannya menjadi kelihatan lebih bijak dan shaleh. Seakan-akan tiada cela dalam perbuatannya. Ketika pikiranku terus mengagumi laki-laki itu, ia kembali membuyarkan lamunanku. “Kenapa berdiri saja. Ayo sini duduk,” ajaknya. Aku pun memenuhinya dan langsung mengambil posisi duduk menghadap laut.
“Gimana pikirannya? Sudah agak mendingan?” ia kembali bertanya padaku
“Alhamdulillah…kegalauan yang tadi menyesakkan dada, sudah sedikit berkurang” jawabku.
“Menurut abang, kamu ini sudah benar apa yang kamu perbuat. Kamu berani bertanggung jawab setelah melakukan kesalahan. Meskipun kesalahan itu tidak begitu fatal. Semua manusia pernah melakukan kesalahan, tidak terkecuali saya. Dulunya saya ini pernah menghamili anak orang beberapa kali, tapi kemudian setelah Allah menurunkan Hidayah-Nya melalui seorang polisi, abang bertaubat. Taubat Nasuha. Taubat sebenar-benarnya taubat,” laki-laki itu kembali menghisap rokoknya pelan kemudian melepaskan kepulan asap untuk dibawa oleh angin. “Dunia ini luas, tidak seperti bola kasti. Dunia inipun banyak menganugerahkan wanita-wanita yang lebih cantik dan sholeh ketimbang gadismu itu. Kamu gak usah berputus asa, terima saja takdir itu. Jodoh di tangan Tuhan. Meskipun kalian sudah melakukan apa yang seharusnya tidak kalian lakukan, kalian tetap tidak bisa membina rumah tangga apabila Tuhan tidak mengijinkan. Pikirkan dalam-dalam apa yang barusan abang katakan. Setelah kamu hayati, renungi dan pahami, baru kamu ambil sikap apa yang harus kamu tempuh setelah ini. Abang permisi dulu, mau melanjutkan shalat Isya,”. Ucapan laki-laki itu membuat aku menangis terharu. 
Benar apa katanya, aku telah mencoba mempertanggung jawabkan perbuatanku, tapi ibunya tidak merestui hubungan kami menuju pernikahan. Jadi aku tidak lagi bersalah, paling tidak untuk gadis itu. Aku hanya akan mempertanggung jawabkan perbuatanku pada Allah. Kehadiran laki-laki asing itu, telah membuka mata hatiku. Ia sama sekali tak mengenalku, begitu juga sebaliknya, aku tak kenal dia. Bahkan namanya pun aku lupa bertanya. “Aku mencintai gadisku ya Allah…karena itu aku berharap semoga ia berbahagia dihari pernikahannya nanti,” batinku tenang. Sementara itu, malam kian pekat. Bulan pun mulai menampakkan sinarnya ke kedalaman laut yang begitu biru. Aku beranjak dari tempatku tadi dan pergi. Pergi mencari keridhaan Allah dan cinta dari seorang wanita suci. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar