Rabu, 14 September 2011

Di Hari Kedua...

Senja hari itu meremang di sudut bukit sebelah barat, di antara laut biru dan langit yang memerah. Beberapa perahu nelayan terlihat lalu lalang di perairan lepas, ada yang pergi mencari sekeranjang ikan dan ada yang pulang dengan membawa secercah senyuman yang terwujud dalam boat-boat kecil milik mereka.

Awalnya langit cerah, namun tak lama kemudian pun memendung dan berubah sendu dengan kumpalan mega yang kelabu. Pesisir kota Banda Aceh waktu itu menjadi gelap tapi tidak pekat. Gerimis pun mulai turun dari celah-celah langit, sekedar membasahi bumi yang kian usang dimakan usia.


Di sebuah desa, jauh di penghujung Kota Banda Aceh, hidup sebuah keluarga kecil dengan seorang gadis yang sedang beranjak dewasa. Gadis yang biasanya dipanggil Neuneuk oleh kedua orang tuanya. Hidupnya lumayan berkecukupan dengan ditemani oleh dua saudara kandung perempuan.

Dhira Ayu Sasmita, begitulah nama aslinya. Mempunyai paras ayu, seperti nama yang diberikan oleh ibu dan ayah nya yang bekerja sebagai abdi negara. Sebagai anak pertama, Neuneuk dibesarkan dengan kasih sayang penuh seperti adik-adiknya yang lain.

Pun begitu ia tak menjadi manja, setidaknya itu terlihat dari wujud kasih sayang yang ia bagi untuk saudara perempuannya yang lain. Sebuah keluarga yang penuh dengan sisi romantis, setidaknya sebelum musibah itu datang.

Tepat hari itu, kala senja meremang dan gerimis mengundang, Neuneuk dan keluarganya baru saja pulang dari tambak sewaan keluarganya. Mereka sedang menunggu panen ikan tiba.

"Besok nampaknya kita sudah bisa panen, mak" ujar Ayah Neuneuk.

"Insya Allah, semoga panen ikan kali ini bisa kita tabung untuk pendidikan anak-anak ya, Yah" tanggap ibunya

"Aminn..."

Sementara itu, Neuneuk dan kedua adiknya sedang bercanda riang di dalam kamar mereka. Sebuah rutinitas yang sangat jarang dilakukan oleh Neuneuk semenjak ia meninggalkan banku Sekolah Dasar. Entah kenapa hari itu, Neuneuk merasa sangat dekat dengan adik-adiknya. Rasa kasih sayang yang tiba-tiba hadir di relung jiwanya yang begitu keras, muncul dengan seketika. Muncul tepat disaat kalender menunjukkan hari sabtu, 25 Desember 2004.

Malampun kian larut. Sementara langit tak berhenti menangisi bumi. Orang-orang meringkuk dalam selimut tebal didalam kamar, enggan untuk keluar karena cuaca yang begitu dingin. Awan merah jingga masih saja menenggelamkan langit yang seharusnya dihiasi bulan dan bintang. Tapi dewi malam itu pun malu untuk menunjukkan dirinya. Ia cukup tegar bersembunyi dibalik selimut tebal sang awan bersama bintang-bintang nun jauh di angkasa.

"Ayah, besok kita pergi rekreasi ya...kan sudah lama kita nggak liburan bersama keluarga," pinta adik bungsu Neuneuk pada ayahnya.

"Hmm...bagaimana ya? Besok Ayah harus melihat tambak nak, karena besok kita panen ikan. Ikannya sudah besar-besar, kan sayang kalau nggak kita ambil," kilah sang Ayah, memberi alasan.

"Tapi Yah, usul adik itu ada benarnya. Kita sudah lama nggak berlibur. Kalau panen ikan kan bisa sorenya, Neuneuk mencoba membela adik bungsunya.

"Nggak apa-apa bang, benar yang dikatakan Neuneuk dan si adik. Kita udah lama nggak berlibur bersama," sang ibu ikut-ikutan.

"Baiklah, siapa tahu minggu sekali lagi kita nggak punya kesempatan untuk berkumpul seperti ini. Hmmm....kita kemana ya?"

"Ke Ujong Batee...enak Yah, disana lebih indah pemandangannya. Banyak pohon cemara," ujar Neuneuk menawarkan usulan.

"Iya...disana indah...apalagi adik bisa jajan,"

"Hahaha..." semua tertawa mendengar kata-kata adik.

"Oke..kita bawa dua kereta, satu ayah yang jadi sopir satu lagi Neuneuk, gimana?" tanya ayahnya

"Boleh, siapa takut!" jawab Neuneuk.

"Horeeee..." teriak kedua adik Neuneuk.

Jarum jam kian berputar sedetik demi sedetik. Neuneuk dan adik-adiknya belum bisa memejamkan mata. Mereka mencoba membayangkan hari tamasya besok. Disambung dengan bertukar pendapat mengenai sekolah dan teman-teman akrab serta hal-hal lainnya, sehingga membuat mereka tertidur tanpa terasa. Mereka baru terbangun ketika jarum telah berhenti di jam 08.15 WIB, tepat ketika bumi bergetar dengan kencangnya.

Gempa...begitulah orang-orang berteriak dengan histeris tanpa sadar, namun ada pula yang masih mengingat sang pencipta dengan mengucap kalimah syahadat di mulutnya, tak terkecuali Neuneuk dan keluarga.

Kurang lebih lima belas menit gempa menghentakkan bumi. Entah pertanda apa, kemudian banyak orang-orang yang meneruskan kegiatannya. Begitu juga dengan keluarga Neuneuk yang berencana pergi bertamasya.

Semua bekal sudah dipersiapkan oleh sang ibu. Termasuk makanan-makanan kecil dan santapan lain guna dihabiskan di pantai nanti. Merekapun berangkat beriringan.

Namun sampai di pelataran ujung desa, Ayah berubah pikiran. Lelaki paruh baya ini mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan. Ia teringat kondisi nenek anak-anak yang tinggal sendiri di rumahnya. Gempa tadi telah membuat hati sang ayah gundah gulana. Maka dengan segala cara dibujuklah anak-anaknya untuk mengurungkan niat pergi bertamasya.

Belum sampai Neuneuk dan keluarga menginjakkan kaki ke dalam rumah, tiba-tiba gempa kembali mengguncang dengan hebat. Kali ini disertai dengan bunyi desiran angin dan letusan yang maha dahsyat. Banyak orang-orang berlarian dengan berseru bahwa air laut naik. Seketika semua terkesima menyaksikan dinding pekat yang datang dari arah laut. Kecepatannya luar biasa, semua yang ada di depan diterjang bagaikan sebuah armada gajah yang sedang mengamuk.

Ayah Neueneuk memerintahkan anak-anaknya berlari ke arah mesjid. Sementara dirinya masuk ke dalam rumah, entah untuk apa. Neuneuk yang mendapat perintah dari ayahnya, langsung berlari ke arah mesjid yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal Neuneuk. Namun belum sampai di rumah ibadah tersebut, tubuh gadis ini dihempaskan oleh gelombang yang datang dengan cepat. Begitu cepat, hingga Neuneuk sendiri tidak sadar dengan kondisinya yang terapung-apung dalam gelombang itu.

Ia mencoba bertahan dengan situasi ini. Diraihnya sebuah papan yang terapung. Namun air hitam pekat itu seakan-akan tak mau memberi ampun, sesekali Neuneuk dibawa ke arah puing-puing rumah yang masih berdiri kokoh, kemudian ditarik kedalam air dan kemudian diseret ke atas pepohonan dan kawat berduri. Akhirnya gadis tersebut pingsan.

Entah berapa lama air itu menyeretnya. Ketika Neuneuk sadar, ia dapati matahari berada tepat diatas wajahnya yang perih. Sekujur badan gadis ini terluka, begitu juga pinggul yang terasa nyeri. Ia tak mampu bangun, padahal seluruh tenaga sudah dikerahkan, tapi ia juga tak mampu. Sampai akhirnya ada beberapa orang yang menolong setelah Neuneuk berteriak. Kemudian gadis ini pun kembali pingsan.

Di sebuah tempat, tanggal 27 Desember 2004, Neuneuk terbaring lemas diatas sebuah tikar. Ia pandangi seluruh ruangan yang serba putih. Bau alkohol menyesakkan dada tercium jelas olehnya. Rintihan dan tangisan orang-orang pun terdengar jelas di telinga. Ia mencoba berpikir sekarang berada dimana.

Tiba-tiba dari sebuah lorong ruangan tersebut, muncul dua orang laki-laki dewasa. Mereka melihat Neuneuk dan mendekatinya. Tanpa bertanya apa-apa, kedua lelaki ini mulai mengganggu Neuneuk. Tangan mereka mulai menjamah tubuh gadis ini yang hanya tertutup oleh selembar kain dan pakaian dalam. Sesekali tangan-tangan jahil tersebut mencoba menyentuh aurat kemaluan Neuneuk.

Neuenuk meronta, ingin berteriak minta tolong ataupun melawan, akan tetapi tenaganya tidak ada sama sekali. Berkali-kali ia melawan, namun sia-sia. Sampai akhirnya gadis remaja ini pasrah.

"Ya Allah, dimana Ayah dan Mama. Kenapa kedua laki-laki ini begitu tega terhadap diriku yang lemah ini. Ya Allah ya Tuhanku, ijinkanlah kehormatan gadis malang ini terjaga dari hawa nafsu pria-pria bejat ini, jikapun umurku masih Kau ijinkan untuk kulanjutkan," batin Neuneuk dengan dipenuhi linangan air mata.

Sementara itu, kedua laki-laki yang sudah dirasuki setan itu masih saja menjamah tubuh gadis malang tersebut tanpa memperdulikan tangisannya. Untung saja, seorang perawat datang ke tempat Neuneuk berada. Melihat adanya orang yang menghampiri, kedua laki-laki itu kabur. Kehormatan Neuneuk terjaga meskipun tubuhnya sudah di raba.

Gadis berkulit putih ini menangis terisak-isak. Namun ia tak sanggup menceritakan apa-apa pada perawat tadi. Mulutnya tertutup rapat, lidahnya kelu. Ia kembali pingsan setelah perawat tersebut memberikan obat padanya.

Hari ketiga pasca bencana, seorang laki-laki paruh baya memasuki ruangan tempat Neuneuk dirawat. Di lehernya tergantung sebuah ID card jurnalis, "Wartawan" begitulah yang tertulis di tanda pengenal laki-laki itu. Ia banyak bertanya pada pasien, termasuk pada Neuneuk.

"Adik udah ketemu sama keluarga?" tanya lelaki tersebut.

"Belum...saya nggak tahu apakah ayah dan mamak masih hidup. Saya sudah dua hari disini, belum pernah ketemu sama mereka," jawab Neuneuk, terbata-bata.

"Nama adik siapa?"

"Dhira Ayu Sasmita,"

"Kalau nama ibu atau ayah adik?"

"Sulastri dan Idris, adik bernama Tiara dan yang kecil bernama Rekha," jelas Neuneuk.

"Adik tinggal dimana?"

"Lampaseh, pak"

"Adik tahu alamat keluarga lain yang ada di Banda Aceh?"

"Di daerah Keutapang ada keluarga paman. Alamat pastinya saya tidak tahu," jawab gadis ini lagi.

Pria tersebut terus bertanya dan mencatat. Sampai akhirnya ia memanggil seseorang untuk memeriksa alamat pemberian Neuneuk. Selang dua jam kemudian, orang yang diperintahkan tadi kembali dengan seorang ibu yang dipapah.

"Neuneuk..." panggil wanita itu.

"Mamak..." Neuneuk mengenali suara tersebut dan serta merta menangis.
Pecahlah tangis kedua perempuan ini. Sembari berangkulan kedua anggota keluarga ini bercerita mengenai pengalaman masing-masing, termasuk kondisi sang ayah yang sudah pergi untuk selama-lamanya.

Neuneuk menagis sedih, ia ingin meluapkan semua kisahnya, tapi tertahan ketika sampai pada kisah percobaan pemerkosaan tempo hari. Ia tak sanggup menahan kepiluan akan tragisnya pengalaman itu. Hari dimana kehormatannya hampir saja terenggut di usia yang sangat muda.

Cerita itu tetap ia simpan di dalam kenangan pahitnya. Bagi Neuneuk, dapat bertemu kembali dengan sang ibu adalah sesuatu yang paling berharga. Walaupun ia harus kehilangan anggota keluarga lainnya, paling tidak orang yang telah melahirkannya masih berada di sampingnya.

Matahari perlahan bersemayam di kaki bukit sebelah barat. Awan tak lagi hitam, gerimis tak lagi mengundang. Hari-hari kelam tak lagi membayang, namun bumi belum lagi tenang. Sesekali ia bergerak, entah apa yang ingin dikatakannya. Di laut belum terlihat boat-boat kecil milik nelayan, entah dimana mereka sekarang. Sungguh sebuah misteri yang diberikan Tuhan, seperti layaknya kisah Neuneuk yang mengharukan di hari kedua musibah itu. Kisah gadis yang terluka dan hampir diperkosa.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar